Skip to main content

Jakarta, ABDI – Asosiasi Big Data & AI (ABDI) berharap pemerintah tetap konsisten dengan menerapkan peraturan bahwa penempatan pusat data atau Data Center untuk keperluan publik harus berada di Indonesia yang terbukti telah mampu menumbuhkan industri supply chain data center maupun clouds di Indonesia. Selain itu, juga berkaitan dengan perlindungan data masyarakat.

“Pemerintah mestinya konsisten dalam masalah data center ini. Jika memang ada rencana revisi difokuskan pada masalah sanksinya harus lebih jelas dan tegas apabila ada PSTE yang melanggar Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik (PSTE) agar meningkatkan kepastian hukum di wilayah Indonesia,” kata Ketua ABDI Rudi Rusdiah dalam keterangan pers yang diterima di Jakarta, Kamis (1/11), terkait rencana pemerintah merevisi PP No. 82 tentang PSTE.

Rudi menambahkan, jika pemerintah beralasan bahwa dalam pelaksanaannya tidak semua PSTE mematuhi kebijakan ini, bukan berarti bahwa kebijakan penempatan Data Center (DC) dan Disaster Recovery Center (DRC) di wilayah Indonesia adalah salah, namun yang salah adalah tidak adanya pasal atau ayat sanksi jika kebijakan ini tidak dipatuhi oleh PSTE. “Jadi seandainya PP 82/2012 perlu direvisi, menurut ABDI hanya pasal sanksi ini saja yang krusial dan perlu ditambahkan (direvisi),” tuturnya.

Rudi berpandangaan, jika ada kewajiban penempatan DC di wilayah Indonesia seperti di PP 82/2012 (sebelum rencana revisi.red), maka nampak terbukti Jack Ma, dari Alibaba berjanji menanamkan investasi infrastruktur Cloudsnya di Indonesia. Juga kedatangan petinggi Amazon meyakinkan investasi IDR 14 triliun (SG$1.3 miliar) dalam kurun waktu 10 tahun. Pastinya, tidak benar adanya peryataan bahwa PP 82/2012 membatasi investasi asing di bisnis ecommerce dan clouds di Indonesia, bahkan terbukti menarik investasi.

Namun, kemudian pertanyaannya jika kebijakan keharusan menaruh data centernya di Indonesia ini dirubah (PP 82/2012), apakah Albaba dan Amazon yang sudah commited akan berubah di masa depan dengan menaruh data centernya di Singapura misalnya karena tidak ada lagi keharusan seperti pada PP 82/2012. “Banyak bisnis penunjang dan infrastruktur DC yang berkembang pesat di Indonesia. Bahkan banyak vendor AS raksasa seperti PT IBM Indonesia, PT Microsoft Indonesia, PT Dell Indonesia, HP Indonesia akan mendapatkan banyak bisnis pengadaan peralatan Server, peralatan Network dan lain sebagainya).

Seperti misalnya CISCO, Palo Alto akan mendapatkan banyak bisnis pengadaan network dan security termasuk perusahaan seperti Redhat, Nutanix, Symantek anti virus, dan banyak vendor besar Raised Floor, UPS (Power Supply) Data center yang mendapatkan banyak pesanan dengan semakin banyaknya Data Center yang akan dibangun di Indonesia karena kebijakan PP 82/2012 ini.

Berdasarkan Data dari IpSos Business Consulting (lihat lampiran): Data Center Market di Indonesia meningkat pesat CAGR 24.65% dari USD 1.1 miliar(2015) menjadi USD 1.8 miliar (2017) bahkan menjadi USD 2.3 miliar (2018) setara diatas Rp 30 Triliun. Bayangkan besarnya dampak PP 82/2012 yang sudah ada sejak 2012 terhadap bisnis data center di tanah air.

“Terbukti banyak bisnis clouds akan tumbuh di Indonesia baik yang lokal (Telkomsigma, Telkomsel, Datacomm ditunjang oleh Microsoft Azure). Statistik Cloud Computing spending di Indonesia meningkat drastis menjadi USD 1.14 miliar (2017) dan USD 1.3 miliar (2018) dari hanya USD 160 juta (2012) saat PP 82/2012 baru saja terbit. Jadi tentu majoritas pemain Clouds tentu memanfaatkan peraturan terkait keharusan DC di wilayah Indonesia dari PP 82/2012,” paparnya.

Sebelumnya, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) mengklaim telah melibatkan seluruh stake holder dalam Revisi PP 82/2012. Beleid ini salah satunya mengatur penempatan DC dan DRC. Dirjen Aplikasi Informatika Kominfo Semuel Pangerapan mengatakan Kominfo melibatkan lembaga terkait atau panitia antar kementerian untuk membahas materi muatan serta telah mendapatkan masukan dari pelaku usaha, akademisi, praktisi dan asosiasi terkait. Pihaknya selalu terbuka bagi para asosiasi untuk terlibat dalam penyusunan revisi PP ini.

Semuel mengatakan revisi ini dimulai setelah UU ITE Perubahan atau UU 19/2016 disahkan. Pada Mei 2018, peraturan ini telah melewati pembahasan harmonisasi di Kemenkumham. Sekitar Mei 2018 pada tahapan pembahasan harmonisasi di Kemenkumham ada beberapa masukan dari kementerian/lembaga dan masyakarat. Saat ini, beleid terkait PSTE dalam tahap finalisasi oleh Sekretariat Negara untuk pengecekan. Sebelumnya Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) melakukan pengecekan agar PP No.82 tidak terjadi tumpang tindih dengan aturan yang sudah ada. **

Author Samuel

More posts by Samuel

Leave a Reply