Skip to main content
Monthly Archives

November 2018

ABDI Gelar “Big Data Governance and AI Awards I” di Indonesia

Jakarta, ABDI – Pentingnya penanganan big data (data besar), termasuk data analytic, kian disadari leh para pelaku usaha, industri, hingga institusi kepemerintahan. Sebagai upaya meng- encorage (mendorong) dan mengapresiasi atas upaya tersebut, Asosiasi Big Data & AI (ABDI), majalah/portal Komite.ID dan SingEx (PT Omni eComm Expo), bekerjsama dengan sejumlah lembaga yang berkompeten yang didukung Kementerian Komunikasi dan Informatika menggelar “Big Data Governance and AI Awards 2018”, di Jakarta.

Di era teknologi digital yang makin berkembang pesat dan penggunaan Internet of Tings (IoT) di berbagai kalangan yang kian massif, Big data (data besar) menjadi keniscayaan yang tak terhindarkan. Setiap harinya, baik dunia bisnis, industri, institusi goverment maupun masyarakat, menyumbangkan jutaan dat, baik unstructured data atau data tidak terstruktur (data-data acak seperti teks, suara, video, dan lain sebagainya), hingga data yang terstruktur. Hal ini tidak terlepas dari perkembangan media sosial dan berbagai aplikasi yang mereka gunakan sehari-hari, yang menjadi faktor penunjang terjadinya ledakan data dan meroketnya beragam informasi.

Banyak peluang dan juga tantangan dari adanya ledakan data besar ini. Beberapa faktor yang mempengaruhi ledakan data (explosion of data), mulai dari berkembangnya digital life style, maraknya penggunaan perangkat digital dan internet, smart concept (smart city, smart building, dan lainnya). Ledakan data akan makin kompleks, baik yang terstruktur maupun tidak yang juga membutuhkan metode penanganan yang lebih baik, hingga proses metode analisa (advancements in analytics method). Big data, juga membutuhkan adanya perubahan dalam komponen teknologi penyimpanan (change in technology stack), hingga perlindungan aspek keamanannya (security system).

“Di era digital, ledakan data akan semakin tak terbendung. Ini tantangan, tapi juga ada peluang, karena ke depan data akan makin memegang peran penting untuk meningkatkan daya saing, baik bagi dunia usaha, industri atau institusi apa pun. Artinya data memegang peran strategis masa depan karena dapat meningkatkan keunggulan kompetitif perusahaan. Pengelolaan big data dengan baik, sangat relevan dalam rangka memasuki era industry 4.0,” ungkap Chairman ABDI Rudi Rusdiah, di sela acara penganugerahan “Big Data Governance and AI Awards 2018”, (17/10) malam, di Jakarta.

Kegiatan yang diprakarsai ABDI bersama Singapore Event Manager mendapat dukungan dari Kementerian Komunikasi dan informatika, OJK (Otoritas Jasa Keuangan), BSSN (Badan Siber dan Sandi Negara), Kementerian Perindustrian, Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian RI. Peoses penjurian di antaranya dilakukan melalui riset lapangan dengan melibatkan tim Dewan Juri dari Australian Securities Company, Rosebay Consulting, BSSN, UN Gov Expert Group, AsDep 7 KemenkoPolhukam, APJII, Asosiasi Cloud Computing Indonesia, ADEI, CMO Paques Analytics, MarkPlus Inc. , ICT Consultant.

Adapun metode penilaian dilakukan dengan menggunakan market research, kuesioner dan rekomendasi / penilaian dari customer, hasil riset internal & Public Via di Internet, Sosial Media yang dikompilasi. Setelah itu, dilakukan penilaian berdasarkan sidang dewan juri, penasehat dan steering committe.

Menurutnya, apresiasi dan penghargaan ini sangat penting untuk mendorong banyak perusahaan ataupun institusi dalam mengantisipasi dan menangani pengelolaan big data di institusi atau perusahaannya. Tujuan acara ini, kata Rudi, untuk mensosialisasikan tata kelola bagi perusahaan dalam penanganan big data sebagai satu kesataun dalam pengembangan infrastruktur IT perusahaan. Dengan tata kelola yang baik, maka bisa meminimalisasi kesalahan dalam penanganan big data yang kini telah berkembang pesat.

Big data memiliki sifat high-volume, high-variety, dan high-velocity. Artinya, ke depan data digital akan sangat melimpah, ragamnya sangat banyak, yang bisa didapatkan secara real-time dari berbavgai peprangkat dan jaringan digital. Banyak informasi yang bisa didapat dari sana, di mana dengan pengolahan data yang baik dan efisien, bisa membantu meningkatkan kinerja untuk berbagai aktivitas maupun dunia bisnis.

“Kita mendorong perusahaan berinovasi dengan penggunaan big data. Ini sesuatu yang sangat relevan memasuki industri 4.0, di mana harus terkoneksi ke teknologi dengan baik. ‎Makanya dalam kegaitan ini, kita berikan penghargaan kepada perusahaan atas pencapaiannya. Tahun ini merupakan pertama kalinya diadakan, kita harapkan ke depan bisa lebih banyak lagi partisipan dalam kegiatan ini,” ungkap Rudi.

Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo), Rudiantara dalam sambutannya saat acara penganugerahan ini menyatrkan, atas nama pemerintah pihaknya, sangat menyambut baik dan mengucapkan terima kasih adanya kegiatan semacam ini. Diharapkan event seperti ini akan bisa mendorong adanya inovasi-inovasi baru, terkait pengembangan sektor ICT di Tanah Air.

“Hal ini sejalan dengan tekad pemerintah untuk membangun ekosistem digital dan percepatannya, terutama dalam rangka memasuki era ekonomi digital dan industri 4.0 yang sudah ditetapkan oleh pemerintah sebagai strategi dalam meningkatkan daya saing industri dan ekonomi nasional di masa depan,” ungkap Menkominfo, Rudiantara saat memberikan sambutan di acara “Data Technology Governance, AI and Analytics Summit & Awards 2018”.
Ajang pengharaan ini, diharapkan bisa makin mendorong akselerasi implementasi dan penggunaan digital technology, baik di kalagan dunia usaha, industri, institusi kepemerintahan, serta instansi lainnya, karena akan berimplikasi luas bagi upaya peningkatan daya saing pembangunan nasional di kancah global. Dalam kaitan ini, Menkominfo juga berharap agar para vendor dan perusahaan-perusahaan pengembang solusi ICT, bisa terus berinovasi sebagai antisipasi untuk memenuhi tren tuntutan kebutuhan solusi ICT yang juga makin tinggi di kalangan dunia usaha dan berbagai institusi lainnya. **

ABDI Minta Pemerintah Konsisten Soal Aturan Data Center

Jakarta, ABDI – Asosiasi Big Data & AI (ABDI) berharap pemerintah tetap konsisten dengan menerapkan peraturan bahwa penempatan pusat data atau Data Center untuk keperluan publik harus berada di Indonesia yang terbukti telah mampu menumbuhkan industri supply chain data center maupun clouds di Indonesia. Selain itu, juga berkaitan dengan perlindungan data masyarakat.

“Pemerintah mestinya konsisten dalam masalah data center ini. Jika memang ada rencana revisi difokuskan pada masalah sanksinya harus lebih jelas dan tegas apabila ada PSTE yang melanggar Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik (PSTE) agar meningkatkan kepastian hukum di wilayah Indonesia,” kata Ketua ABDI Rudi Rusdiah dalam keterangan pers yang diterima di Jakarta, Kamis (1/11), terkait rencana pemerintah merevisi PP No. 82 tentang PSTE.

Rudi menambahkan, jika pemerintah beralasan bahwa dalam pelaksanaannya tidak semua PSTE mematuhi kebijakan ini, bukan berarti bahwa kebijakan penempatan Data Center (DC) dan Disaster Recovery Center (DRC) di wilayah Indonesia adalah salah, namun yang salah adalah tidak adanya pasal atau ayat sanksi jika kebijakan ini tidak dipatuhi oleh PSTE. “Jadi seandainya PP 82/2012 perlu direvisi, menurut ABDI hanya pasal sanksi ini saja yang krusial dan perlu ditambahkan (direvisi),” tuturnya.

Rudi berpandangaan, jika ada kewajiban penempatan DC di wilayah Indonesia seperti di PP 82/2012 (sebelum rencana revisi.red), maka nampak terbukti Jack Ma, dari Alibaba berjanji menanamkan investasi infrastruktur Cloudsnya di Indonesia. Juga kedatangan petinggi Amazon meyakinkan investasi IDR 14 triliun (SG$1.3 miliar) dalam kurun waktu 10 tahun. Pastinya, tidak benar adanya peryataan bahwa PP 82/2012 membatasi investasi asing di bisnis ecommerce dan clouds di Indonesia, bahkan terbukti menarik investasi.

Namun, kemudian pertanyaannya jika kebijakan keharusan menaruh data centernya di Indonesia ini dirubah (PP 82/2012), apakah Albaba dan Amazon yang sudah commited akan berubah di masa depan dengan menaruh data centernya di Singapura misalnya karena tidak ada lagi keharusan seperti pada PP 82/2012. “Banyak bisnis penunjang dan infrastruktur DC yang berkembang pesat di Indonesia. Bahkan banyak vendor AS raksasa seperti PT IBM Indonesia, PT Microsoft Indonesia, PT Dell Indonesia, HP Indonesia akan mendapatkan banyak bisnis pengadaan peralatan Server, peralatan Network dan lain sebagainya).

Seperti misalnya CISCO, Palo Alto akan mendapatkan banyak bisnis pengadaan network dan security termasuk perusahaan seperti Redhat, Nutanix, Symantek anti virus, dan banyak vendor besar Raised Floor, UPS (Power Supply) Data center yang mendapatkan banyak pesanan dengan semakin banyaknya Data Center yang akan dibangun di Indonesia karena kebijakan PP 82/2012 ini.

Berdasarkan Data dari IpSos Business Consulting (lihat lampiran): Data Center Market di Indonesia meningkat pesat CAGR 24.65% dari USD 1.1 miliar(2015) menjadi USD 1.8 miliar (2017) bahkan menjadi USD 2.3 miliar (2018) setara diatas Rp 30 Triliun. Bayangkan besarnya dampak PP 82/2012 yang sudah ada sejak 2012 terhadap bisnis data center di tanah air.

“Terbukti banyak bisnis clouds akan tumbuh di Indonesia baik yang lokal (Telkomsigma, Telkomsel, Datacomm ditunjang oleh Microsoft Azure). Statistik Cloud Computing spending di Indonesia meningkat drastis menjadi USD 1.14 miliar (2017) dan USD 1.3 miliar (2018) dari hanya USD 160 juta (2012) saat PP 82/2012 baru saja terbit. Jadi tentu majoritas pemain Clouds tentu memanfaatkan peraturan terkait keharusan DC di wilayah Indonesia dari PP 82/2012,” paparnya.

Sebelumnya, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) mengklaim telah melibatkan seluruh stake holder dalam Revisi PP 82/2012. Beleid ini salah satunya mengatur penempatan DC dan DRC. Dirjen Aplikasi Informatika Kominfo Semuel Pangerapan mengatakan Kominfo melibatkan lembaga terkait atau panitia antar kementerian untuk membahas materi muatan serta telah mendapatkan masukan dari pelaku usaha, akademisi, praktisi dan asosiasi terkait. Pihaknya selalu terbuka bagi para asosiasi untuk terlibat dalam penyusunan revisi PP ini.

Semuel mengatakan revisi ini dimulai setelah UU ITE Perubahan atau UU 19/2016 disahkan. Pada Mei 2018, peraturan ini telah melewati pembahasan harmonisasi di Kemenkumham. Sekitar Mei 2018 pada tahapan pembahasan harmonisasi di Kemenkumham ada beberapa masukan dari kementerian/lembaga dan masyakarat. Saat ini, beleid terkait PSTE dalam tahap finalisasi oleh Sekretariat Negara untuk pengecekan. Sebelumnya Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) melakukan pengecekan agar PP No.82 tidak terjadi tumpang tindih dengan aturan yang sudah ada. **

Petaka Bagi Regulator & Pengawas Sektoral Jika Peraturan Data Center Fisik menjadi Klasifikasi Resiko Data

Jakarta, ABDI – Pembahasan Rancangan Peraturan Pemerintah (PP) tentang Revisi PP 82 /2012 oleh Menteri Kominfo sudah mencapai dengar pendapat dengan Asosiasi dan Masyarakat Telematika dan Ditjen Aptika di Ruang Rapat Gedung Utama, Kementrian Sektretariat Negara RI dipimpin langsung oleh Lydia Silvanna Djaman, Deputi Bidang Hukum dan Perundang-undangan, Kementrian Sekretariat Negara.

Menurut Lydia sebelum draft RPP dibawa Kepresiden sebaiknya di diskusikan dengan komunitas terlebih dahulu, sehingga kedepan ada pilihan kembali ke kementrian kominfo untuk dikaji ulang dan dibuatkan studi akademis yang lebih matang, atau ditandatangani oleh Presiden RI. Juga hadir wakil dari Lembaga Pemerintah antara lain Syahrul Mubarak, Sekretaris Utama, BSSN (BadanSiber & Sandi Negara); Marsekal Muda TNI Rus Nurhadi, Deputi 7, Kemenko Polhukam; Mira Thayyiba, Direktur Kementerian Koordinator Bidan Perekonomian; Wakil dari BKPM. Delegasi Kominfo dipimpin oleh Semuel A Pangerapan,Dirjen Aptika; Mariam Barata, SesDirjen Aptika; dan jajarannya.

Asosiasi yang hadir Alex Budiyanto, Asosiasi Cloud Computing Indonesia (ACCI); Teddy S, Indonesia Data Centre Provider (IdPro); Benyamin P Naibaho, Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII), Rudi Rusdiah, Asosiasi Big Data & AI (ABDI); Kristiono Ketua Umum Masyarakat Telematika (Mastel).

Pandangan kompak Asosiasi yang hadir menolak revisi PP 82/ 2012 pasal 17 ayat 1 tentang DataCenter untuk Keperluan Public Harus berada di wilayah NKRI dan ayat 2 tentang tugas Instansi Pengawas dan Pengatur Sektor terkait jika ada ketentuan lebih lanjut setelah berkoordinasi dengan Menteri. Revisi yang diajukan oleh Menteri Kominfo adalah mengubah pasal 17 dari peraturan mengenai keberadaan fisik Data Center untuk pelayanan publik di tanah air menjadi pengaturan klasifikasi Data Strategis; Data Resiko Tinggi dan Data Resiko Rendah yang dianggap akan membuat ketidak pastian hukum karena sifat Data yang tidak berwujud dan akan lebih sulit di atur ketimbang pengaturan letak Data Center secara fisiknya di Indonesia sehingga kedaulatan data dan negara bisa ditegakkan.

Kristiono menimbang perlunya untuk terlebih dahulu menggolkan draft UU Perlindungan Data Pribadi karena jika definisi dari data tidak jelas dan dengan semakin masifnya perkembangan data maka jelas PP 82/2012 hasil revisi akan menimbulkan banyak masalah misinterpretasi soal klasifikasi Data.

ABDI, sebagai asosiasi yang spesialisasi di supply chain data dari hulu hingga hilir, dari sejak data di ciptakan, disimpan, dikirim, diproses analytics dan AI hingga proses pemusnaan data (Right to be forgotten) melihat bahwa pengaturan mengenai data akan menimbulkan polemik, ketidak pastian hukum dan tumpang tindihnya kewenangan dari tugas instansi Pengatur dan Pengawas Sektoral dan Penegak Hukum.

Pertama dengan makin masifnya perkembangan big data dan semakin banyaknya ragam data yang unstructured (tanpa struktur) akan menimbulkan kebingungan bagi regulator, Instansi Pengatur dan Pengawas Sektoral dan Penegak hukum (IPPS) mengikuti dinamika perkembangan big data.

Peraturan sebelumnya PP 82/2012 sudah sangat baik mengatur objek fisik dari data yaitu Data Centrenya pada pasal 17 ayat 1. Sedangkan ayat 2 adalah kewenangan sektoral untuk mengatur lebih lanjut agar setiap sektor yang sangat sensitif dan spesifik seperti Data Pesawat di Perhubungan; Data Keuangan di Perbankan diatur content datanya sesuai dengan kepentingan sektoral.

Bayangkan bagaimana sulitnya jika yang diatur adalah Data Klasifikasi, mengingat mengatur fisik Data Centre saja sudah sulit, apalagi content datanya yang banyak bersifat confidential, rahasia berdasarkan klasifikasinya dan juga data adalah objek tanpa bentuk disebut digital goods.

Firasat ABDI jika PP 82/2012 tetap di revisi dan diberlakukan tanpa ada kajian yang mendalam terlebih dahulu terkait klasifikasi data dan ujug ujug dijadikan Peraturan Pemerintah baru yang mengatur Klasifikasi Data, maka yang terjadi adalah petaka kesimpangsiuran, ketidak pastian dan tumpang tindih nya proses di regulasinya oleh IPPS dan Penegakan Hukum akan semakin sulit.

Para Wakil Asosiasi yang hadir berharap agar Sekretariat Negara mengembalikan berkas RPP tentang Revisi PP 82/2012 ke Kementrian terkait untuk dilakukan kajian naskah akademis yang lebih menyeluruh, holistik dan komprehensif mengenai Big Data Technology, Data Analytics dan Data Klasifikasi terlebih dahulu.

Saran ABDI, dari pada terburu buru melakukan Revisi PP 82/2012 lebih baik membuat dan melengkapi Permen penunjang PP 82/2012 yang masih belum diselesaikan, termasuk Permen mengenai Sanksi pada pasal 84 dan juga melakukan pekerjaan koordinasi besar lintas sektoran dengan semua IPPS sektoral untuk menyiapkan peraturan pendukung di masing masing sektor terkait content data dari Pengaturan tata letak data center yang harus berada diwilayah Indonesia. Sudah 6 tahun kami menunggu Permen (Peraturan Menteri) dan peraturan pendukungnya sejak PP 82/2012 diberlakukan pada tahun 2012 hingga hari ini, namun mengapa yang keluar malah keinginan merevisi PP 82/2012 yang masih penuh lubang karena banyak Permen yang belum di buat. Saran kami sebaiknya enerji digunakan untuk membuat Permen (Peraturan Menteri) yang lebih mudah dari pada merevisi sebuah PP (Peraturan Pemerintah).

Semoga aspirasi asosiasi dan komunitas didengar dan dengan pendekatan ini Indonesia memiliki peraturan dan perundang undangan terkait keberadaan data masyarakat Indonesia di NKRI. Sehingga kedaulatan data; bisnis data center, clouds, IoT, Data analytics dan AI dapat benar benar menjadi the Next Oil or Energy of Indonesia. **